Minggu, 12 April 2015

Belajar dari Guru Bangsa Tjokroaminoto

 
 
Setelah lepas dari era tanam paksa di akhir tahun 1800, Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang berpengaruh ke kehidupan masyarakatnya. Yaitu dengan kebijakan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kemiskinan masih banyak terjadi. Rakyat masih banyak yang belum mengenyam pendidikan dan kesenjangan sosial antar etnis dan kasta masih terlihat jelas. Adalah Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro) yang lahir dari kaum bangsawan Jawa dengan latar belakang keislaman yang kuat, tidak diam saja melihat kondisi tersebut. Walaupun lingkungannya adalah keluarga ningrat yang mempunyai hidup yang nyaman dibandingkan dengan rakyat kebanyakan saat itu. Ia berani meninggalkan status kebangsawanannya dan bekerja sebagai kuli pelabuhan. Dan merasakan penderitaan sebagai rakyat jelata.

Pasca pelarangan organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh pemerintah kolonial, Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat Islam yang didirikan oleh Samanhoedi, organisasi resmi bumiputera pertama yang terbesar, sehingga bisa mencapai 2 juta anggota dan tersebar di seluruh wilayah nusantara. Ia berjuang untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat bumiputera di awal 1900 yang terjajah. Perjuangan ini berbenih menjadi awal-awal lahirnya tokoh dan gerakan kebangsaan.

Tjokro yang intelektual, pandai bersiasat, mempunyai banyak keahlian, termasuk ahli mesin dan hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator ulung yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato, membuat pemerintah kolonial mulai khawatir, dan membuat mereka bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat Islam yang pesat. Perjuangan Tjokro lewat organisasi Sarekat Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat, dan mengangkat harkat dan martabat secara bersamaan, juga terancam oleh perpecahan dari dalam organisasi itu sendiri. Beberapa di antara anggota SI menganggap Tjokro terlalu lambat sehingga pada akhirnya SI terbelah dua menjadi SI putih dan SI merah.

Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal sebagai tempat bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di rumah sederhana yang berfungsi sebagai rumah kos yang dibina oleh istrinya, Suharsikin, Tjokro juga mempunyai banyak murid-murid muda yang pada akhirnya menetas, dan mempunyai jalan perjuangannya masing-masing, meneruskan cita-cita Tjokro yang mulia untuk mempunyai bangsa yang bermartabat, terdidik, dan sejahtera. Di rumah inilah Tjokro berbagi ide-ide dan pemikirannya tanpa memaksa orang lain menyetujuinya. Hasilnya, dari rumah sederhana inilah lahir tokoh pergerakan dengan perjuangannya masing-masing, seperti Soekarno, Semaoen, Darsono, Muso, dan Kartosuwiryo. Tidak berlebihan jika kemudian Tjokro dijuluki sebagai gurunya para guru bangsa di negeri ini. Bagi Tjokro, setiap gagasan yang mengalir di negeri ini adalah baik dan tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah ketika tangan menerjemahkan gagasan-gagasan itu dengan cara kekerasan.

Film berdurasi 161 menit ini mengungkap kekuatan yang terkandung di balik keinginan untuk berhijrah, dari suatu kondisi yang terpuruk menuju cita-cita kebebasan yang diharapkan. Kekuatan hijrah itu mengandung makna setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat, dan semurni-murni tauhid. Film arahan sutradara Garin Nugroho ini dibintangi oleh Reza Rahardian (Tjokroaminoto), Ibnu Jamil (Agus Salim), Deva Mahenra (Soekarno), Chealse Islan, Christine Hakim, dan Didi Petet.***